Sejarah
Lampung
Lampung baru menjadi provinsi tahun 1964 dengan
dasarnya Undang-Undang nomor 14 tahun 1964. Sebelumnya Lampung merupakan bagian
dari provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Selatan sendiri terbentuk
tanggal 12 September 1950 dan merupakan pecahan dari Provinsi Sumatera. Di awal
kemerdekaan, pulau Sumatera tergabung dalam satu provinsi, yaitu, Provinsi
Sumatera. Lampung adalah salah satu keresidenan di provinsi tersebut dengan
residennya adalah Mr. Abbas.
Pada abad 16, Lampung dikenal sebagai penghasil
lada hitam. Produk tersebut dipasarkan di Banten dan banyak dijual ke pedagang
Eropa dan Asia. Tentu saja harga di Banten jauh lebih tinggi dari harga di
Lampung sendiri. Setelah mengetahui perbedaan harga tersebut, pedagang Eropa, khususnya
Belanda yang ketika itu masih diwakil oleh armada dagangnya, yaitu, VOC, sangat
berkeinginan untuk mendapatkan lada hitam langsung dari daerah penghasil.
Namun VOC belum berani melakukan ekspansi ke
Lampung karena masih berhitung terhadap kekuatan Banten. Ketika itu Lampung
menjalin hubungan akrab dengan Banten, sehingga kalau VOC menyerang Lampung,
kemungkinan besar Banten akan membelanya. Hubungan Lampung dan Banten semakin
erat pada waktu Banten di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.
VOC berkeyakinan bahwa untuk menguasai Lampung,
terlebih dahulu harus menundukan Banten. Oleh karena itu, ketika di Kesultanan
Banten terjadi perselisihan antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya,
yaitu, Sultan Haji, VOC memanfaatkannya dengan mendukung Sultan Haji. Akhirnya
Sultan Ageng Tirtayasa dapat dikalahkan dan kemudian VOC menobatkan Sultan Haji
sebagai penguasa Banten. Namun dia hanyalah penguasa boneka. Kekuasaan riil
telah berada di tangan VOC.
Pada tanggal 24 Juli 1692, Sultan Haji memberikan
hak monopoli perdagangan lada di Lampung kepada VOC. Namun expedisi pertama
Belanda ke Lampung ini, tidak begitu lancar karena masih banyaknya penguasa
Lampung yang loyal kepada Sultan Ageng Tirtayasa dan menganggap VOC sebagai
musuh.. Akhirnya VOC tidak segera mewujudkan ambisinya untuk menguasai Lampung,
bahkan sampai VOC dibubarkan lampung belum dikuasai sepenuhnya.
Pada tahun 1807, Belanda memproklamasikan bahwa
Kepulauan Nusantara adalah bagian dari Kerajaan Belanda. Pada tanggal 22
November 1808, Lampung dinyatakan sebagai daerah yang langsung di bawah
gubernur jenderal Belanda, tidak terikat lagi kepada Banten. Herman Wilhelm
Daendles, Gubernur Jenderal Belanda ketika itu, mengakui penguasa Lampung,
yaitu, Raden Intan I, sebagai Ratu atau Kurnel.
Ketika tahun 1811 Indonesia dijajah Inggris,
pengaturan Lampung kembali di bawah Keresidenan Banten. Setelah kekuasaan
beralih kembali ke tangan Belanda, Lampung tetap berada di bawah Banten dan
ditempatkan seorang Asisten Residen, kedudukannya berada dibawah Residen
Banten.
Raden Intan I, yang sebelumnya dekat dengan
Belanda, pada kekuasaan Belanda kedua ini tidak berusaha dengan Belanda bahkan
pada akhirnya melakukan konfrontasi. Perlawanan Raden Intan I berlangsung
sampai dia wafat pada tahuan 1828. Perjuangan melawan Belanda dilanjutkan oleh
putranya, yaitu, Raden Intan II.
Pada tahun 1856, Belanda mengirim pasukan besar
untuk menghancurkan perlawanan Raden Intan II. Sasaran serangan Belanda yang
pertama adalah Benteng Bendulu. Setelah melalui pertempuran sengit, Bendulu
dapat dikuasai dan kemudian dijadikan basis pasukan Belanda untuk
menggempur benteng-benteng lainnya.
Perlawanan Raden Intan II berakhir tanggal 5 Oktober 1856. Ketika itu Raden
Intan II dijebak untuk hadir dalam pertemuan yang sudah direkayasa Belanda.
Setelah gugurnya Raden Intan II, perlawanan
terhadap Belanda tidak lagi besar-besaran. Bahkan dapat dikatakan bahwa sejak
saat itu, Belanda menguasai Lampung secara penuh. Belanda kemudian memusatkan
perhatian pada pengembangan berbagai perkebunan disertai sarana dan
prasarananya.
Pada awal kemerdekaan, para pejuang di Lampung
segera membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) dan Pasukan Keamanan
Rakyat. Pada tanggal 9 September 1946, karena tidak mampu menstabilkan kondisi
di Lampung, sebuah badan yang dikenal dengan nama Panitia Perbaikan Masyarakat
(PPM) memaksa Mr. Abbas melepaskan jabatannya. Desakan ini berhasil menurunkan
Mr. Abbas dan posisinya digantikan oleh Dr. Barel Munir sampai tanggal 29
November 1947. Setelah itu, posisi residen dijabat oleh Rukadi.
Karena adanya serangan Belanda yang ingin
kembali menguasai Lampung. Pemerintahan Keresidenan Lampung terpaksa
berpindah-pindah. Residen Lampung kemudian digantikan oleh Kepala pemerintahan
Darurat Keresidenan Lampung yang dijabat oleh Mr. Gele Harun. Setelah digelar
Konferensi Meja Bundar (KMB), Lampung terbebas dari cengkraman Belanda.
Status Lampung mengalami peningkatan dari
keresidenan menjadi provinsi pada tahun 1964. Gubernur Lampung yang pertama
dijabat oleh Kusno Danu Upoyo. Posisinya kemudian digantikan oleh Zainal Abidin
Pagar Alam pada tahun 1967. Pada pemerintahan Zainal Abidin ini dimulai
Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I, yaitu, sejak 1 April 1969.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar