A. ASAL USUL MASYARAKAT KOMERING
1. Bedasarkan legenda, DAERAH ASAL SUKU KOMERING
Dahulu didaerah Pegunungan Perbatasan Burma / Siam ( Thailand ) hidup
berdampingan secara damai antara beberapa suku yakni suku Melayu
Kuno, Igorot , Ranau, Toraja, dan lain – lain . Suku Komering berada
ditengah-tengah suku lainnya namun ia mampu mempertahankan identitasnya
terutama pada alat komunikasi yaitu bahasa, bahasa Komering sementara
pengamat menyatakan banyak kesamaan dengan bahasa Batak, yang ceritanya
antara 2 suku tersebut sering bercanda untuk menyatakan siapa yang
tertua diantara Nenek Moyang mereka yang bersaudara.
Suku Batak adalah bagian dari Melayu Kono yang mendiami pergunungan
perbatasan Burma / Siam ( Thailand ). Selain suku Melayu Kono juga
adanya suku IGOROT, Ranau, Toraja dan lain-lain . Semua suku yang
menghuni pegunungan Siam, menolak segala hubungan dengan dunia luar.
Kemudian sekitar tahun 1000 sebelum Masehi Bangsa Mongol memperluas
daerah sampai ke sungai Mekong.dengan demikian suku – suku yang berada
di pegunungan Siam merasa terdesak dan memberanikan diri pergi
menyeberangi lautan, di antara suku tersebut adalah suku ranau yang
mendarat di Sumatera Selatan dan berkurung disekitar Danau Ranau ± 2500
tahun.
Sedangkan Suku Batak mendarat di Pantai Barat Andalas, lalu kemudian
Suku Batak dan terpencar di Pulau Andalas ( Sumatera ), tulisan suku
Ranau hampir sama dengan tulisan Batak, sedangkan Bahasa Batak logatnya
hampir dengan Bahasa Igorot ( Philipina ).
Pada saat itu terjadi perpindahan besar besaran dari daratan Asia ke
Daerah Nusantara.Suku Bangsa Melayu Kuno ( India Selatan ) dalam
pengungsianya bergerak menyeberangi laut Andaman, kemudian berpencar
dalam beberapa kelompok, diantaranya ada yang sampai di ujung Utara
Sumatera, yang terpecah menjadi Batak Karo, Toba, Dairi dan Alas,
sedang kelompok lainya berlayar ke pantai barat dan menuju ke ujung
Selatan sementara, tepatnya di daerah Keroi dan menyebar di daerah
pegunungan, ada yang menetap di Bukit Pasagi dan juga di gunung
Seminung. Kemudian ketiganya berkembang berasimilasi dengan penduduk
asli yang lebih dahulu mendiami sekitar gunung Seminung tersebut,
sehingga timbulah Ras baru, diantaranya : Komering, Ranau, Daya, Lampung. Pada waktu itu kepercayaan mereka adalah Animisme, dalam perkembangannya, mereka meminta kekuatan gaib dan kesaktian dengan melakukan Pertapaan
di bukit Pasagi dan Gunung Seminung, kemudian mereka menyebar disekitar
Danau Ranau dan mendirikan perkampungan yang bernama SAKALA BERAK,
Sakala berarti Penjelmaan / titisan, sedang kata berak berarti Besar / lebar, dalam Bahasa Komering sekarang. jadi SAKALA BHRA artinya Titisan atau Penjelmaan Dewa dari Gunung Seminung. Anggapan demikian dapat dilihat pada persamaan bagi Sesepuh dengan istilah PU –HYANG (Puhyang ) berarti Tuanku Barasal Dari Dewa
wangsa Sakala Bhra sebagai “ MULAN “ mulan bearti generasi yang
kemudian. ( Pak Sipak ). Jadi Suku Komering asimilasi antara penduduk
asli Gunung Seminung dengan pendatang dari Suku melayu kuno.
2. ASAL MULA NAMA KOMERING
Menurut informasi penduduk dan cerita orang tua –tua setempat, Komering berasal dari bahasa India yang berarti PINANG,
kerena sebelum abad ke IX daerah ini marak dengan perdagangan buah
pinang, dengan pedagang dari India, sebagai bahan rempah –
rempah.diantara jenis rempah lainya sebagai juragan Pinang.Kemudian
juragan pinang yang berasal dari India tersebut dimakamkan di dekat
pertemuan sungai Selabung dan Waisaka,
di hulu Kota Muara Dua. Dari tempat makam tersebut mengalir sungai
sampai Ke muara ( Minanga ), sehingga mulai saat itu semua penghuni di
sepanjang pinggiran sungai tersebut dinamakan Orang Komering dan daerahnya dinamakan Daerah Komering. Setelah
terjadinya perubahan geografis karena peristiwa alam, Muara Sungai
Komering ( Minanga sekarang ) terjadi pendangkalan sepanjang 125M
pertahun kearah Bangka. Sebelum abad ke VIII Minanga masih berada di
tepi pantai / muara sungai komering.Setelah terjadi pendangkalan aliran
sungai Komering terpecah menjadi 2 cabang sungai mulai dari Minanga
kearah hulu sekitar 20 km tepatnya di Rasuan lama. 2 aliran tersebut :
a. Aliran sungai yang lama menyempit disebelah timur sampai diminanga dan rawa / lebak ( Bekas Lautan Purba).
b.Aliran sungai yang baru di sebelah Barat mengalir ke daerah
Tobong, Plaju dan bermuara di Musi, kepada mereka yang menghuni aliran
sungai Komering yang baru disebut orang Komering Ilir, walaupun
kebanyakan dari mereka bukan penduduk yang berbudaya Komering,
sedangkan di bagian hulu sungai Komering mulai dari Selabung sampai ke
Ranau penduduknya tidak mau disebut orang komering, karena mereka tidak
tinggal dipinggiran sungai Komering, mereka menaman dirinya “ JELMA DAYA “ yang berarti ( aktif,dinamis ) tapi mereka pendukung Budaya Komering ( Y.W.Van Royan 1927 ).
c. Sepanjang aliran sungai Komering dari Hulu ( Muara Dua ) sampai
dengan Gunung Batu dan juga yang tidak disekitar sungai Komering
penduduknya terbagi menjadi 2 Kewedanaan yaitu :
1 Kewedanaan Muara Dua Beribukota di Muara Dua.
2 Kewedanaan Komering Beribukota di Martapura.
Komering adalah pendukung budaya Seminung yang mendiami tepian
sungai komering mulai dari Batu Raja Bungin sampai dengan Gunung Batu,
dan ada juga yang mendiami daratan yang agak jauh dari pinggiran ungai
Komering.Sesuai dengan pemekaran desa / dusunya masing – masing,
khusus penduduk yang pendatang bersal dari berbagai daerah = ada yang
dari :Batak, Padang, Jawa, Sunda, Ogan dll.
Kebanyakan masyarakat pendatang mendiami daratan dan aliran sungai
buatan / bendungan peninggalan zaman Belanda, yang sekarang tetap di
renovasi dan dikembangkan masyarakat OKU TIMUR dengan sebagian besar
bermata pencaharian di bidang pertanian, yang sekarang menggunakan
teknologi pertanian yang lebih baik, terbukti dengan sebutan lumbung
pangan Sumatera Selatan. Di bidang Kebudayaan; Masyarakat OKU TIMUR
terdiri dari beberapa etnis, maka Seni Budaya pun bermacam – macam,
meskipun demikian kebudayaan asli masih tetap lestari di tengah –
tengah masyarakat pendukungnya yaitu Adat Budaya Komering.
PUHYANG / RUMPUN SAKALA BHRA .
Sebagaimana dijelaskan dalam asal – usul suku komering SAKALA BHRA
berarti Titisan / Jelmaan Dewa dari Gunung Seminung, yang sIstem
pemberian nama bagi sesepuh atau leluhur disebut Pu – Hyang, berarti tuanku berasal dari Dewa (
dokumentasi Pemda OKU tahun 1979 ) didapat cerita asal – usul
berdirinya marga – marga yang menyebar dan adanya 7 Kepuhyangan di
sepanjang aliran Sungai Komering.
Pertama kali sekelompok suku dari pegunungan Muaradua ingin mencari
tempat – tempat yang dapat memberikan jaminan kehidupan, kemudian
bergeraklah mereka menelusuri sungai Komering kearah utara atau hilir
dengan menggunakan rakit, dengan berbahasa Komering lama yang disebut (SAMANDA) jadi Samanda adalah Bahasa Komering lama.
Kelompok pertama yang pergi turun gunung adalah kelompok Semendawai. Kata Semendawai berasal dari kata SAMANDA di WAY
yang berarti menelusuri sungai dari hulu, terakhir mendarat dimuara (
Minanga ) kemudian mereka berpencar mencari tempat – tempat strategis
untuk menetap dan mendirikan 7 ke Puhyangan diantaranya:
1. Puhyangan Ratu Sabibul pendiri daerah Gunung Batu, gunung batu berarti (Manusia Gunung ).
2. Puhyang Kai Patih Kandi pendiri daerah Maluway ( Maluway / Manduway ) berarti petunjuk arah. 3. Puhyang Minak Ratu Damang Bing pendiri daerah Minanga ( Muara )
i. Kemudian menyusul kelompok ke 2 ( dua ) yang turun gunung adalah :
4. Puhyang Umpu Sipandang pendiri daerah Gunung Terang yang berarti orang gunung menempati
i. tempat yang terang ( Padang rumput ).Dalam kegiatannya mereka membuka lahan padang
ii. rumput yang luas, kegiatan tersebut dinamakan MADANG
5. Puhyang Minak Adi Pati, pendiri daerah Pemuka Peliung. Kegemaran Puhyang tersebut membawa (PELIUNG) sejenis Kampak.
a. Sehingga daerah ini dinamakan Pemuka Peliung ( sekitar ± abad ke 13 pernah terjadi perang Abung )setelah perang abung, berakhir adanya kepuhyangan baru yaitu:
6. Puhyang Ratu Penghulu, pendiri daerah Banton. 7. Puhyang Umpu Ratu, pendiri daerah Pulau Negara
8. Puhyang Jati Keramat, pendiri daerah Bunga Mayang, bunga mayang berasal dari nama Permaisurinya yang keluar / datang dari Bunga Mayang Pinang ( Peri Bunga Pinang
9. Puhyang Sibala Kuang / Puhyang DAYA, pendiri
daerah Mahanggin terdiri dari Sandang, Rawan, Rujung, Kiti,
Lengkayap dll. Nama marga / kepuhyangan ini menggunakan nama BHU WAY / KEBHUAYAN merupakan istilah yang dibawa orang Sakala Bhra baru, ( generasi Paksipak atau penerus Sakala Bhra )
setelah pengusiran orang – orang abung dari daerah Komering . Dari
ke 7 puhyang yang mendiami sekitar sungai Komering masing –
masing berdiri sendiri yang dipimpin oleh seseorang sesepuh
disebut puhyang.
3. ASAL USUL NAMA DAERAH DI WILAYAH OKU TIMUR
1. Asal Nama Bunga Mayang
Daerah Bunga Mayang didirikan oleh Puhyang Jati Keramat,
yang diambil dari nama istrinya yang konon ceritanya istrinya tersebut
keluar / datang dari kembang Bunga Mayang Pinang, sampai sekarang nama
daerah ini adalah Kecamatan Bunga Mayang ( Sumber : buku adat
perkawinan Komering Ulu,Tahun 2003 ).
2. Kota Martapura.
Sekitar ± 1835 Masehi,bermula dari seorang ustadz pendatang dari
pulau Borneo (Kalimantan ) bernama H. Jamaludin bin Azhar bin H. Mahmud
yang masih muda belum beristri, mengajar ngaji di mesjid agung Desa
Tanjung Kemala, yang pada waktu itu Tanjung Kemala dipinpin oleh
Pangeran Aguscik Putra dari mantan pasirah dari marga paku senggkunyit
yaitu pangeran muhamad Ali. Setelah usia ± 25 tahun H. Jamaludin
menikah dengan saudara sepupu dari pageran aguscik yang bernama halimah
dari keluarga limas.Atas jasa – jasanya mengajarkan agama Islam H.
Jamaludin dianggkat menjadi sebagai pemangku adat oleh pengghulu tertua
atas persetujuan masyarakat ketua didaerah Tanjung Kemala.Dalam
perkembangannya daerah Tanjung Kemala semakin bagus maka terbentuklah
perkampungan baru terletak di sebelah hilir desa tanjung kemala disebut
kampung hilir nama martapura.Tercetus ketika H. Jamaludin sedang
mengajar ngaji dengan mengatakan : “ murid – muridku semuanya kampong
kita ini belum mempunyai nama sedangkan penduduknya yang sudah memadai
bagaimana kalau kita beri nama daerah kelahiran saja yaitu Martapura ?
Spontan disetujui dan diterima oleh masyarakat, mulai saat itulah
kampung hilir yang bersebelahan dengan Tanjung Kemala bernama Martapura (Sumber : Tamrin. A. Roni.)
3. Asal Nama Buay Pemuka Peliung
Buay pemuka adalah kephuyangan nama marga yang dibawa orang Sakala Bhra.
Peliung adalah senjata khas / seperti kampak yang sering dibawa dan
disenangi oleh puhyang minak Adipati, pendiri Buay Pemuka Peliung
sampai sekarang namanya adalah Buay Pemuka Peliung (Sumber : buku adat perkawinan Komering Ulu ,Tahun 2003)
4. Asal Nama Madang
Padang rumput yang luas dan terang
5. Asal Nama Kurungan Nyawa
Pada zaman kolonial Belanda setiap orang Belanda memasuki daerah ini
selalu di tangkap dan di tawan oleh masyarakat pribumi, maka daerah
ini di sebut Kurungan Nyawa.
6. Asal Nama Belitang
Daerah yang dialiri sungai berliku, berbelok-belok dan banyak pohon
yang melintang di atas sungai, maka disebutlah daerah ini, daerah
Belitang.
7. Asal Mula Nama Rasuan
Sebelumnya nama rasuan daerah ini bernama karang cangging rasuan berarti menggelar tikar untuk bermusyawarah / Rasan. ( Sumber : Bapak Yani )
8. Asal Nama Semendaway
Berasal dari kata Samanda dan di Way, Samanda berarti menelusuri
sungai Komering dari hulu sampai ke hilir. di Way berarti di Air,
disebutlah Semendaway
9. Asal Nama Gunung Terang
Masyarakat yang datang dari daerah pegunungan yang menetap di daerah padang rumput pada dataran rendah.
10. Asal Nama Campang Tiga
Yaitu Desa yang letaknya di jalan darat yang mempunyai cabang tiga/tiga persimpangan.
( sumber : Bapak Monang Jaya ).
11. Asal Kata Adu Manis
Berasal dari Mistuha Mis berarti manis, Tuha Berarti Tua ( lebih
dahulu ) maka jadilah adu manis. Nenek moyang adu manis bernama
darusalam adik dari tuan Tandi Pulau
12. Asal Nama Betung.
Betung adalah junjungan Seklian lama atau Kratun Nanggum Magedung
didirikan oleh Batin Mulajadi, kemudian daerah ini pindah ke Hilir
dimana banyak terdapat pohon bambu Betung maka disebutlah daerah ini
daerah Betung ( Sumber : Ismail).
13. Asal Nama Minanga
Dalam bahasa Komering Minanga berarti Muara Sungai.
14. Asal Nama Cempaka
Daerah ini ditengah-tengah dusun tumbuh pohon Cempaka ( Sumber : Monang Jaya ).
15. Asal Nama Gunung Batu
Masyarakat yang datang dari pegunungan dengan semangat untuk berjuang .
Yang kedua saya mengambil dari : http://saliwanovanadiputra.blogspot.com/2011/11/asal-muasal-orang-lampung.html
Asal Muasal Orang Komering
Suku Komering adalah satu klan dari Suku Lampung yang
berasal dari Kepaksian Sekala Brak yang telah lama bermigrasi ke
dataran Sumatera Selatan pada sekitar abad ke-7 dan telah menjadi
beberapa Kebuayan atau Marga. Nama Komering diambil dari nama Way atau
Sungai di dataran Sumatera Selatan yang menandai daerah kekuasaan
Komering.Sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad &
Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering/Minanga:
"Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, Sajaman rik
tanoh pagaruyung pemerintah bunda kandung, Cakak di Gunung Pesagi
rogoh di Sekala Berak, Sangon kok turun temurun jak ninik puyang
paija, Cambai urai ti usung dilom adat pusako" Terjemahannya berarti
"Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka
Bercabang, Sezaman dengan ranah pagaruyung pemerintah bundo kandung
di Minang Kabau, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Berak, Memang
sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di
dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak
berbangsa". ( Wikipedia )
------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam kesempatan ini, penulis menyempatkan diri untuk membuat
artikel yang berjudul “Suku Komering adalah Orang Lampung Juga”. Hal
yang mendasari penulis membuat artikel ini adalah di karena ada
pandangan dari sebagian masyarakat Komering (Sumatera Selatan) yang
tidak mengaku sebagai bagian dari masyarakat Lampung. Hal tersebut
perlu dikaji dengan bukti sejarah mengenai asal-usul dan perpindahan
suku Komering, terutama ke Lampung.
Untuk lebih jelasnya mengenai asal-usul dan perpindahan suku
Komering (dikutip dari Wacana Nusantara : Perjalanan Komering di
Lampung) akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Asal-Usul Tujuh Kepuhyangan
Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran
tinggi Gunung Pesagi menyusuri sungai dengan segala cara seperti
dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju
muara. Menyusuri atau mengikuti dalam dialek Komering lama adalah
Samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama
Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri
sungai.
Pada artikel yang berjudul Kebesaran Sriwijaya yang Tak Tersisa -The
Rise of Sriwijaya Empire- (Komentar Agung Arlan), disebutkan bahwa
Kepuhyangan Samandaway yang merupakan kepuhyangan tertua komering
menjadi cikal bakal berdirinya kerajaan Sriwijaya dengan Pu Hyang Jaya
Naga (Sri Jaya Naga) sebagai Raja Sriwijaya pertama yang berkedudukan
di daerah dekat Gunung Seminung dan kemudian berpindah ke Minanga
(Setelah itu Pusat Ibu Kota berpindah ke Palembang, dan yang terakhir
ke Jambi pada beberapa kurun masa Kerajaan Sriwijaya).
Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian
berpencar. Mereka mencari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga
kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak
membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di
bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu
dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu
Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu
teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini
kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun
Skala Brak ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang
seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat
menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka
di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka
padang ini disebut Madang dan kemudian dijadikan nama Kepuhyangan
Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.
Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang
konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan
pada nama kepuhyangan mereka menjadi “Pemuka Peliung”. Dari
kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar
mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang
Ratu Penghulu.
Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara
oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang
Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari
atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan
diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak
kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai).
Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka
pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan
kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini
menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti
Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama
marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak
menggunakan nama Bhu-Way (buway).
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Skala Brak baru generasi
Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini
dinamakan “Komering”. Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri
dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil
pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan
batas-batas yang disepakati.
Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan
hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan)
serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai
(samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama
dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung
tanjung (Gunung Batu).
2. Penyebaran Suku Komering Ke Lampung
Tak diragukan lagi, banyak orang Komering yang keluar dari daerah
asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan
baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka
umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh
marga Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung
Sungkai/Bunga Mayang.
Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997):
“Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang
Komering di tahun 1800 M pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur
Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung
Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari
mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke
seluruh Kebuayan Abung.”
Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung Pepadun dan tanah
yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka.
Kemungkinan daerah sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang
Bawang membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di
Komering. Dari sini mereka kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai
Selatan, Sungkai Jaya, dan sebagainya. Di daerah Sungkai Utara,
seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat kacabdin di daerah
ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara. Mereka
adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Perpindahan berikutnya, dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya
Minanga. Mereka menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau
Panggung, Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana
Lampung Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.
Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih),
menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek moyang mereka
berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka
kurang mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang
penulis temui kebanyakan usia muda <50 tahun). Mereka menyebut
Komering yang di Palembang sebagai "nyapah" (terendam). Kemungkinan
mereka juga berasal dari Minanga, karena kampung ini yang paling
sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering, Negeri
Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan
Komaruzaman (70) (pensiunan BPN).
Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis)
walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak
menutup kemungkinan dari daerah lain di Komering seperti Betung dan
sebagainya, yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.
Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam
menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay
Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan,
marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering
3. Kesimpulan
Melihat asal-usul suku Komering yang awal mula berasal dari Skala
Brak lalu menyebar ke daerah dataran Way Komering dan kemudian
sebagian menyebar ke Lampung, dipastikan “suku komering adalah orang
Lampung juga”. Dimana bahasa, huruf tulisan dan adat istiadat yang
digunakan sama dengan orang Lampung.
Orang Komering melakukan perpindahan ke Lampung Tahun 1800-an, masuk
ke daerah Abung Kebuayan Nunyai dan menetap disana menurunkan Lampung
Sungkai (Bunga Mayang).
Kebuayan Semendaway (Kebuayan Tertua Komering) dari Minanga
melakukan penyebaran ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah (Pulau
Panggung), Bunglai, Cempaka – Sungkai Jaya (Lampung Utara), Sukadana
(Lampung Timur dekat Negeri Tuho) dan Pagelaran (Tanggamus).
Selain itu juga mendirikan dua kampung yaitu Komering Agung/Putih
(Lampung Tengah) dan Tiuh Gedung Komering – Negeri Sakti
(Gedongtataan).
Pada artikel “Sejarah Keratuan Lampung” yang telah terbit
sebelumnya, di daerah Komering khususnya di Martapura dulu telah
berdiri Keratuan Pemanggilan. Keturunan Keratuan Pemanggilan menyebar
ke daerah pesisir Barat Krui, Teluk Semaka, atau Teluk Lampung. Hal
ini menjadi bukti bahwa sejak dulu masyarakat Komering yang tinggal di
sekitar Martapura telah melakukan perpindahan ke berbagai daerah di
Lampung (Pra atau Sejaman dengan Kepaksian Pak Skala Brak Abad ke-14)
sebelum Sungkai Bunga Mayang pindah ke Lampung tahun 1800-an. Dari
bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa orang Komering (Tua) yang telah
melakukan perpindahan ke Lampung pada Pra atau Sejaman Kepaksian Pak
menurunkan Suku Lampung Pesisir Pemanggilan (Lampung Pesesekh di Cukuh
Balak, Kota Agung, Talang Padang, Kedondong dan Way Lima). Maka tidak
dapat diragukan lagi bahwa “Suku Komering adalah Orang Lampung juga”.
Bandar Lampung, 12 Mei 2009 / Oleh : JAMA’UDDIN
YANG KETIGA saya Ambil dari : http://protomalayans.blogspot.com/2010/05/suku-ranau.html
Suku Ranau (masih ada hubungan dengan KOmering)
Suku Ranau adalah suatu komunitas dari suku-suku yang bermukim di
kawasan tepi danau Ranau Kabupaten Ogan Komering Ulu. Suku Ranau ini
termasuk ke dalam rumpun Proto Malayan yang bermigrasi ke daratan
sumatra pada kisaran 3000 - 2500 tahun SM (BC).
'Daerah danau Ranau dikenal dengan nama Sakala Brak (sakala=sagala ; brak=luas).
Nenek moyang orang2 di Komering diperkirakan berasal dari Tiongkok
Selatan (Yunan), pada ribuan tahun SM (BC), turun ke laut melalui
sungai-sungai besar di China yang bermuara di selatan. Akhirnya mereka
tersebar di beberapa wilayah Sumatra Selatan, Lampung dan Sumatra Utara.
Sehingga tidak mengherankan bila terdapat suatu persamaan di dalam
gerak dan tingkah laku antara orang Komering, Lampung dan Batak. Bahkan
ada faham yang dibenarkan dalam kehidupan masyarakat itu bahwa mereka
berasal dari tempat dan keturunan yang sama, hanya saja lambat laun
sikap dan pertumbuhan makin memisah mencari jalan sendiri-sendiri'.http://www.lintasberita.com/all/Science/ASAL_USUL_SUKU_KOMERING_DARI_TIONGKOK_KE_DANAU_RANAU
Menurut Ketua Pemangku Adat Ranau Ruslan Tamimi, penghuni pertama
kawasan danau Ranau adalah suku Abung. Mereka hidup menjadi penangkap
ikan, bertani atau berladang.
Dari peninggalan sejarah di kawasan danau Ranau berupa lesung batu
dari zaman Megalitik menandakan bahwa suku Abung termasuk rumpun Proto
Malayan.
Pada abad ke-15 kawasan danau Ranau didatangi empat komunitas suku
pendatang yang menduduki kawasan danau Ranau. Satu kelompok berasal dari
Pagaruyung yang dipimpin Depati Alam Padang menempati sebelah barat
danau Ranau. Tiga kelompok lagi berasal dari Sakala Brak Lampung, yang
dipimpin Raja Singa Juhku menetap di sebelah timur, kelompok yang
dipimpin Puyang Empu Sejadi Helau di sebelah utara, dan kelompok
terakhir dipimpin Pangeran Liang Batu serta Pahlawan Sawangan menempati
sebelah timur.
Keempat kelompok itu kemudian saling berbaur dan kemudian terpilah
lagi dalam tiga kawasan, yaitu Banding Agung, Pematang Ribu dan Warku.
Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dan akhirnya disebut suku Ranau.
Sedangkan suku Abung sebagai penghuni pertama danau Ranau yang suka
mengisolasi diri. Merasa terusik dan berusaha mempertahankan wilayahnya.
Tetapi karena kalah jumlah dan persenjataan yang dimiliki kaum
pendatang lebih maju membuat suku Abung semakin terdesak dan terpaksa
hijrah ke wilayah Lampung Tengah'. http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/01/suku-ranau-mereka-berasal-dari-lampung.html
Sering terjadi perdebatan diantara peneliti, siapa sebenarnya suku
Ranau itu. Suku Abung atau keempat suku pendatang yang hingga kini
menempati kawasan danau Ranau.
Yang keempat yang juga masih ada hubungannya dengan Komering : http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/18/name/lampung/detail/1804/lampung-barat
Sejarah
Kabupaten Lampug Barat adalah salah satu pemekaran dari Lampung
utara, yag ber Ibukota di Liwa. Pemilihan Liwa sebagai ibu kota
Kabupaten Lampung Barat memang tepat. Beberapa alasan memperkuat
pernyataan ini adalah :
- tempatnya strategis karena berada di tengah-tengah wilayah Lampung Barat, sehingga untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh daerah Lampung Barat oleh pemerintah kabupaten akan relatif efektif
- Liwa merupakan persimpangan lalu lintas jalan darat dari berbagai arah yaitu Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Lampung sendiri Tentang asal-usul nama Liwa, menurut cerita orang, berasal dari kata-kata "meli iwa" (bahasa Lampung), artinya membeli ikan. Konon dahulunya Liwa merupakan daerah yang subur, persawahan yang luas, sehingga hasil pertaniannya melimpah. Liwa juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung.
Skala Beghak, Asal Muasal.
Sekala Beghak (biasa ditulis Skala Brak), adalah kawasan yang sampai
kini dapat disaksikan warisan peradabannya. Kawasan ini boleh dibilang
kawasan yang “sudah hidup” sejak masa pra-sejarah. Batu-batu menhir
mensitus dan tersebar di sejumlah titik di Lampung Barat. Bukti, ada
tanda kehidupan menyejarah.
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka
atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan
tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman
Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang
sebagai ibukota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama
“Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab
Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L.C. Westenenk ditafsir
sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga
orang Cina. Jadi bukan nama orang tapi gelar penyebutan. Buku itu konon
juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan
Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454 – 464 Masehi.
Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt
(Wikipedia Indonesi, 2007).
Meski belum seluruhnya terbaca, namun dapat disimpulkan: di situ
tercatat suatu peradaban panjang. Suatu kawasan tua yang mencatatkan
diri dalam sejarah umat manusia. Di wilayah ini pula pernah berdiri
sebuah kerajaan. Ada yang menyebut kerajaan tersebut adalah Kerajaan
Tulang Bawang, namun bukti-bukti keberadaannya sulit ditemukan. Sedang
keyakinan yang terus hidup dan dipertahankan masyarakat khususnya di
Lampung Barat serta keturunan mereka yang tersebar hingga seluruh
wilayah Sumatera Selatan, menyebutkan Kerajaan Skala Beghak. Pendapat
ini juga disokong oleh keberadaan para raja yang bergelar Sai Batin,
hingga bukti-bukti bangunan dan alat-alat kebesaran kerajaan, upacara
dan seni tradisi yang masih terjaga. Masih banyak bukti lain, namun
perlu pembahasan terpisah.
Kalau membaca peta Propinsi Lampung sekarang, kisaran lokasi pusat
Sekala Beghak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat,
sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Propinsi
Sumatera Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di
lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak,
Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau dan Kecamatan Balik Bukit.
Sebagai kesatuan politik Kerajaan Sekala Beghak telah berakhir.
Tetapi, sebagai kesatuan budaya (cultural based) keber¬adaannya turun
temurun tewarisi melalui sejarah panjang yang menggurat kuat dan
terbaca makna-maknanya hingga saat ini. Sekala Beghak dalam gelaran
peta Tanah Lampung, pastilah tertoreh warna tegas, termasuk sebaran
pengaruh kebudayaannya sampai saat ini.
Tata kehidupan berbasis adat tradisi Sekala Beghak juga masih
dipertahankan dan dikembangkan. Terutama, Sekala Beghak setelah dalam
pengaruh “Empat Umpu” penyebar agama Islam dan lahirnya masyarakat adat
Sai Batin. Adat dan tradisi terus diacu dalam tata hidup keseharian
masyarakat pendukungnya dan dapat menjadi salah satu sumber inspirasi
dan motivasi pengembangan nilai budaya bangsa.
Hasil pembacaan atas segala yang ada dalam masyarakat berkebudayaan
Sai Batin di Lampung, memperlihatkan kedudukan dan posisi penting
Sekala Beghak sebagai satuan peradaban yang lengkap dan terwariskan.
Keberadaan Sekala Beghak tampak sangat benderang dalam peta kebudayaan
Sai Batin, sebagai satu tiang sangga utama pembangun masyarakat
Lampung. Bahkan, telah diakui, Sekala Beghak sebagai cikal bakal atau
asal muasal tertua leluhur “orang Lampung”. Bahkan keberadaan Skala
Beghak, berada dalam kisaran waktu strategis perubahan peradaban besar
di Nusantara, dari Hindu ke Islam.
Bukti kemashuran Sekala Beghak dirunut melalui penuturan lisan
turun-temurun dalam wewarah, tambo, dan dalung yang mempertegas
keberadaan Lampung dalam peta peradaban dan kebudayaan Nusantara. Kata
Lampung itu sendiri banyak yang menyebut berasal dari kata “anjak
lampung” atau “yang berasal dari ketinggian”. Pernyataan itu
menunjukkan bahwa “orang Lampung” berasal dari lereng gunung (tempat
yang tinggi), yang dalam hal ini Gunung Pesagi. Pendapat yang sama juga
ditemukan dalam kronik perjalanan I Tsing. Disebutkan kisah pengelana
dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang bhiksu yang berkelana dari
Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India, dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia
tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tingal di Chang’an.
Ia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa
Cina. Dalam perjalanannya itu, kronik menulis I Tsing singgah di
Sriwijaya pada tahun 671. Ia mengunjungi pusat-pusat studi agama Budha
di Sumatera, di antaranya selama dua bulan di Jambi dan setelah itu
konon tinggal selama 10 tahun di Sriwijaya (685-695). Dalam
perjalanannya itu, I Tsing dikabarkan menyebut nama suatu tempat dengan
“To Lang Pohwang”. Kata “To Lang Pohwang” merupakan bahasa Hokian,
bahasa yang digunakan I Tsing.
Ada yang menerjemahkan “To Lang Pohwang” sebagai Tulang Bawang. Salah
satunya adalah Prof. Hilman Hadikusuma, ahli hukum adat dan budayawan
Lampung tersebut memberi uraian perihal sejarah Lampung, khususnya
dalam menafsir To Lang Pohwang sebagai Kerajaan Tulang Bawang.
Disebut-sebut berada di sekitar Menggala, ibukota Kabupaten Tulang
Bawang saat ini. Meski bekas-bekas atau artefaknya belum terlacak,
garis silsilah raja dan istana, komunitas masyarakat pewaris tradisi,
dan banyak hal lagi yang masih tidak bisa ditemukan. Tidak hanya dari
sudut pandang semantis untuk memaknai kata “To Lang Pohwang”, namun
perlu pula didampingi kajian sosiologis dan arkeologis yang lebih
mendalam. Kata “To Lang Pohwang” berasal dari bahasa Hokian yang bermakna
‘orang atas’. Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau
tinggal di atas (lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan
demikian penyebutan I Tsing “To Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna
dengan kata “anjak lampung”, sama-sama berarti orang yang berada atau
tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud adalah Gunung Pesagi.
Merujuk pada dua pendapat itu, maka penunjukan “orang atas” mengarah
pada Suku Tumi yang tinggal di lereng Gunung Pesagi di Lampung Barat.
Mereka inilah cikal-bakal Kerajaan Sekala Beghak. Kerajaan ini di
kemudian hari ditundukkan oleh para penakluk, mujahid dan pendakwah
Islam yang masuk ke Sekala Beghak dari Samudera Pasai melalui Pagaruyung
Sumatera Barat. Di bawah Ratu Mumelar Paksi bersama putranya Ratu
Ngegalang Paksi, disertai juga para Umpu, empat cucu Ratu Mumelar Paski.
Mereka masuk untuk kemudian menguasai kawasan tersebut setelah
menundukkan Suku Tumi. Para Umpu, keempat putra Ratu Ngegalang Paksi
itulah yang kemudian melahirkan Paksi Pak Sekala Beghak dengan segala
kebudayaannya, berkembang dan beranak pinak untuk kemudian menyebar ke
seluruh Lampung dan sejumlah daerah. Karena kerajaan Sekala Beghak lama
(animisme/dinamisme) telah dikalahkan dan dikuasai sepenuhnya oleh
keempat Umpu keturunan Ratu Ngegalang Paksi, maka kemudian adat-istiadat
dan kebudayaan yang berkembang dan dipertahankan hingga kini merupakan
peninggalan Kerajaan Sekala Beghak Islam.
Dalam tambo-tambo dan wewarah, “Empat Umpu” (Umpu Bejalan Diway; Umpu
Belunguh; Umpu Nyekhupa, dan Umpu Pernong) banyak disebut memiliki
peran sentral dalam membangun masyarakat adat Sai Batin, Paksi Pak
Sekala Beghak. Pada periode selanjutnya, penyebaran orang-orang Sekala
Beghak ini dapat dirunut dari kisah-kisah tentang kepergian mereka
melalui sungai-sungai. Bahkan, sebagian orang-orang Komering pun
mengaku sebagai keturunan Sekala Beghak. Mereka diperkirakan keturunan
Pasukan Margasana yang dikirim Kerajaan Sekala Beghak ke Komering untuk
menghadang serangan sisa-sia prajurit Kerajaan Sriwijaya yang telah
runtuh sebelumnya. Seperti halnya keberadaan Suku Ranau sekarang, diakui
juga berasal dari Sekala Beghak, Lampung Barat. Di sekitar Danau Ranau
di Banding Agung, Ogan Komering Ulu itu semula dihuni Suku Abung yang
setelah kedatangan orang-orang Sekala Beghak pada abad ke-15 mereka
pindah ke Lampung Tengah.
Seperti dikutip Harian KOMPAS, (11 Desember 2006:36), pada abad 15
datang empat kelompok masyarakat yang menduduki sekitar Danau Ranau. Di
sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari Pagaruyung
Sumatera Barat dipimpin Dipati Alam Padang. Sementara itu, tiga
kelompok lainnya berasal dari Sekala Beghak. Tiga kelompok orang-orang
Sekala Beghak itu dipimpin Raja Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan
Diway), menempati sisi timur danau. Di sisi timur danau pula, kelompok
yang dipimpin Pangeran Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari
Kepaksian Nyekhupa) menempat. Sementara kelompok yang dipimpin Umpu
Sijadi Helau menempati sisi utara danau. Empu Sijadi Helau yang
disebut-sebut itu bukan Umpu Jadi putra Ratu Buay Pernong, yang menjadi
pewaris tahta Buay Pernong. Kemungkinan besar Umpu Sijadi di daerah
Ranau tersebut adalah keturunan Kepaksian Pernong yang meninggalkan
Kepaksian dan mendirikan negeri baru di Tenumbang kemudian menjadi
Marga Tenumbang.
Ketiga kelompok dari Sekala Beghak ini kemudian berbaur dan menempati
kawasan Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warkuk. Sampai sekarang
banyak orang Banding Agung mengaku keturunan Paksi Pak Sekala Beghak.
Di samping itu, ada kisah-kisah perpindahan orang Sekala Beghak,
sebagaimana ditulis dalam Wikipedia (7/3/07: 04.02), yang dipimpin
Pangeran Tongkok Podang, Puyan Rakian, Puyang Nayan Sakti, Puyang Naga
Berisang, Ratu Pikulun Siba, Adipati Raja Ngandum dan sebagainya.
Bahkan, daerah Cikoneng di Banten ada daerah yang diberikan kepada Umpu
Junjungan Sakti dari Kepaksian Belunguh atas jasa-jasanya, dan banyak
orang Sekala Beghak yang migrasi ke sana atau sebaliknya.
Kisah-kisah ini memperkuat suatu kenyataan bahwa Sekala Beghak tidak
hanya sebagai sumber muasal secara geografis, melainkan juga sumber
kultur masyarakat. Sekala Beghak adalah hulu suatu kebudayaan
masyarakat. Dari Sekala Beghak ini juga lahir huruf Lampung yaitu
Kaganga. Bagi sebuah kebudayaan, memiliki bahasa dan aksara sendiri
merupakan bukti kebesaran masa lalu kebudayaan tersebut. Di Indonesia
hanya sedikit kebudayaan yang memiliki aksara sendiri, yaitu Batak,
Lampung (Sumatera Selatan), Jawa, Sunda, Bali, dan Bugis. Dan kebudayaan
yang memiliki aksara sendiri dapat dikategorikan sebagai kebudayaan
unggul. Karena bahasa merupakan alat komunikasi sekaligus simbol
kemajuan peradaban.
Semua aksara Nusantara tersebut berasal dari bahasa Palava, yang
berinduk pada bahasa Brahmi di India. Bahasa Palava digunakan di India
dan Asia Tenggara. Di Nusantara bahasa ini mengalami penyebaran dan
pengembangan, bermula dari bahasa Kawi, sebagai induk bahasa Nusantara.
Dari bahasa Kawi menjadi bahasa : Jawa (Hanacaraka), Bali, Surat
Batak, Lampung/Sumatera Selatan (Kaganga), dan Bugis.
Dari Kerajaan Sekala Beghak yang telah memiliki unsur-unsur
“kebudayaan lengkap” ini pulalah “ideologi” Sai Batin dilahirkan dan
disebarluaskan. Sampai saat ini, masih banyak yang bisa dibaca dari
jejak-jejak yang tertinggal. Baik dari jejak fisik maupun jejak yang
tidak kasat mata. Dari legenda, seni budaya, adat tata cara, bahasa
lisan tulisan, artefak benda peninggalan, hingga falsafah hidup masih
ada runut rujukannya. Dari Sekala Beghak itu di kemudian hari pengaruh
budaya dan peradabannya berkembang dan berpengaruh luas ke seluruh
Lampung bahkan sampai ke Komering di Sumatera Selatan sekarang. Tidak
terhitung kemudian “pendukung budaya”-nya yang tersebar di seluruh
Indonesia pada masa kini.
Yang kelima saya ambil dari : http://www.facebook.com/note.php?note_id=101987569848487
Sejarah Suku Komering dan Adat Istiadatnya
oleh zona komering pada 23 Mei 2010 pukul 10:29 ·
Komering merupakan salah satu suku atau wilayah budaya di Sumatra
Selatan, yang berada di sepanjang aliran Sungai Komering. Seperti
halnya suku-suku di Sumatra Selatan, karakter suku ini adalah
penjelajah sehingga penyebaran suku ini cukup luas hingga ke Lampung.
Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya marga Paku
Sengkunyit, marga Sosoh Buay Rayap, marga Buay Pemuka Peliyung, marga
Buay Madang, dan marga Semendawai. Wilayah budaya Komering merupakan
wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya
suku-suku lainnya di Sumatra Selatan. Selain itu, bila dilihat dari
karakter masyarakatnya, suku Komering dikenal memiliki temperamen yang
tinggi dan keras.
Berdasarkan cerita rakyat di masyarakat Komering, suku Komering
dan suku Batak, Sumatra Utara, dikisahkan masih bersaudara. Kakak
beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra,
mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang suku
Komering, dan sang adik ke utara menjadi puyang suku Batak.
Berdasarkan temuan dan analisa sejarah, Dusun Minanga Tuha, di
daerah marga Semendawai Suku I, atau dusun keenam dari Dusun Gunung
Jati diperkirakan merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya bagian awal.
Sedangkan Palembang diyakini sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian
tengah, dan Jambi sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya bagian akhir. Kala
itu, Minanga Tuha, sebagai kota pelabuhan, atau tempat berlangsungnya
aktivitas bongkar dan muat barang serta bersandarnya kapal-kapal
Sriwijaya maupun kapal-kapal asing yang memiliki baik hubungan dagang,
politik, budaya, maupun religi dengan Sriwijaya.
Sejak abad pertengahan, suku Komering, sama halnya dengan rumpun
Melayu lainnya, menerima Islam sebagai sebuah agama dan kepercayaan.
Kedatangan Islam itu melahirkan mitos. Mitosnya mengenai seorang
panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tandipulau, yang
menjadi tamu di daerah marga Semendawai Suku III. Ia datang menggunakan
perahu menelusuri Sungai Komering. Tandipulau berlabuh dan menetap di
daerah marga Semendawai Suku III, tepatnya di Dusun Kuripan. Keturunan
Tandipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang
dusun Kuripan, yang disebut Dusun Gunung Jati. Selanjutnya, marga
Semendawai disebut keturunan Tandipulau dari Dusun Kuripan.
Tandipulau dalam bahasa Komering berarti ‘tuan di pulau’.
Makamnya, yang terletak di Dusun Kuripan, hingga kini masih
terpelihara. Masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, sering
berziarah kubur ke makam tersebut.
Rumah tradisi Komering
Salah satu tanda kebudayaan Komering dari masa lalu, yang hingga
kini tetap terjaga adalah rumah. Pada masyarakat Komering, khususnya
marga Semendawai, memiliki atau mengenal dua jenis rumah tempat tinggal
yang bersifat tradisional, yakni rumah ulu dan rumah gudang.
Berdasarkan struktur bangunan, antara rumah ulu dan rumah gudang
pada prinsipnya sama, tapi pembangunan rumah gudang umumnya cenderung
mengalami beberapa modifikasi, dan tidak patuh lagi seperti rumah-rumah
ulu, terutama untuk arah hadap seperti hulu (utara), liba(selatan),
darak (barat), dan laok (timur). Perbedaan lainnya, pada rumah gudang,
selalu dibuat atau ada ventilasi yang posisinya tepat berada di atas
setiap pintu dan jendela, sedangkan pada rumah ulu tidak mengenal
ventilasi udara.
Baik rumah gudang maupun rumah ulu merupakan jenis rumah panggung
atau rumah yang memiliki tiang penyangga. Bahan utama pembuatan rumah
gudang dan ulu adalah kayu atau papan.
Lantaran rumah gudang Komering lebih muda jika dibandingkan dengan
rumah ulu, rumah ini sudah mengenal dan menerapkan kombinasi antara
bahan kayu dan paku, kaca, cat, porselen atau marmer, genteng, dan
semen. Misalnya banyak tangga atau disebut ijan mukak rumah gudang yang
terbuat dari semen berlapis keramik, atau daun pintu dan jendelanya
sudah dikombinasikan dengan kaca. Bahkan, kecenderungan akhir-akhir
ini, rumah gudang sudah menggunakan tiang penyangga teknik cor beton
dan atau batu bata, yang sebelumnya dari gelondong. Dan, di antara
tiang rumah umumnya sudah pula diberi dinding semi permanen atau
permanen, kemudian dijadikan tempat tinggal atau lambahan bah (rumah
bawah). Mengingat bahan kayu yang saat ini semakin langka dan mahal,
tampaknya masyarakat Komering lebih banyak memilih atau membangun jenis
rumah gudang.
Rumah ulu sepenuhnya menggunakan bahan kayu atau papan. Tiang
penyangga menggunakan gelondongan, lalu tangga, dinding, pintu, dan
jendela menggunakan papan. Atap rumah dibuat dari daun enau dengan
teknik rangkai-tumpuk. Tapi mengingat daya tahan dan gampang terbakar,
sekarang atap daun enau ini diganti atap genteng.
Sambungan kayu pada rumah ulu tidak menggunakan paku, tetapi
menggunakan pasak kayu atau bambu, termasuk untuk engsel pintu, dan
jendelanya juga masih menggunakan teknik engsel pasak. Mengingat bahan
kayu yang saat ini mahal dan langka, sejak tiga dasawarsa terakhir,
masyarakat Komering mulai jarang membangun rumah ulu.
Berdasarkan struktur bangunannya, rumah ulu terbagi atas tiga
bagian, yakni bagian depan (garang), rumah bagian tengah atau utama
(ambin, haluan, dan kakudan) serta rumah bagian belakang (pawon). Bagi
masyarakat Komering, rumah tengah atau utama bersifat sakral, sedangkan
garang atau pawon bersifat profan sehingga pada pintu depan (rawang
balak) dari garang ke haluan, dan juga pada pintu belakang (rawang
pawon) dari kakudan ke pawon, konstruksi kusen pintunya dibuat tinggi
atau ada langkahan (ngalangkah). Rumah tengah atau utama dibagi menjadi
tiga ruang, yaitu ambin atau kamar tidur, haluan, dan kakudan.
Berdasarkan struktur lantai pada rumah ulu, dapat diketahui
setiapruang memiliki hierarkis yang ditandai peninggian atau
merendahkan lantai ruangannya.
Ambin memiliki kedudukan yang tertingggi (dunia atas), selanjutnya
haluan dan kakudan (dunia tengah) serta garang dan pawon (dunia
bawah). Untuk lantai haluan sama tinggi dengan lantai kakudan , dan di
antara keduanya tidak terdapat dinding.
Berdasarkan hierarki rumah ulu, haluan memiliki tingkatan yang
sama dengan kakudan, namun keduanya memiliki fungsi yang berbeda.
Haluan (perempuan) dan kakudan (laki-laki). Sebagai penanda bahwa
adanya perbedaan fungsi antara haluan dan kakudanp>, di antara
lantai haluan dan kakudan diberi kayu balok panjang yang posisinya
melintang, dan di atasnya ada sangai (tiang), sebagai perantara haluan
dengan kakudan.
Sedangkan untuk lantai garang dan pawon (dunia bawah) posisinya
paling rendah baik dari lantai ambin, haluan, maupun kakudan. Haluan
posisinya berada di tengah-tengah rumah ulu, diapit dari arah sebelah
laok-darak (barat-timur) dan hulu-liba/hilir (utara-selatan), yakni
oleh ambin-kakudan dan garang-pawon.
Ambin (kamar tidur) memiliki kedudukan tertinggi dan suci, sejalan
dengan pandangan masyarakat Komering bahwa keluarga harus dijunjung
tinggi kesucian dan kehormatannya. Karenanya, dalam struktur rumah ulu,
posisi ambin di sebelah laok (barat=arah salat/kiblat).
Haluan adalah perempuan, sedangkan kakudan adalah laki-laki,
itulah sebabnya balai pari (lumbung padi = perempuan) posisinya tepat
di bawah haluan, dan kandang hewan berada di bawah kakudan (tanduk
=laki-laki).
Dalam sebuah acara adat yang disebut Ningkuk, haluan hanya
diperuntukkan bagi perempuan dan kakudan tempat laki-laki. Jika ada
pemuda yang bertamu ke rumah seorang gadis, si pemuda hanya boleh duduk
di kakudan, dan si gadisnya harus berada di haluan. Untuk tamu yang
baru dikenal biasanya akan dijamu di garang, sedangkan untuk tamu-tamu
yang sudah dikenal baik oleh tuan rumah, biasanya akan dipersilakan
masuk dengan melangkah rawang balak (hubungan darah dan mentalitas
kelompok atau keluarga).
Dalam upacara adat melamar, ketika pihak keluarga calon besan
mempelai laki-laki baru datang, terlebih dahulu mereka akan ditempatkan
di garang, setelah menjalani beberapa prosesi, barulah rombongan dapat
dipersilakan masuk ke rumah tengah atau utama, dalam hal ini haluan
untuk perempuan dan kakudan bagi laki-laki. Demikian pula pada saat
akan melangsungkan akad nikah, posisi duduk calon mempelai laki-laki
harus di kakudan, sedangkan calon mempelai wanita di haluan. Setelah
selesai akad nikah, baru kedua mempelai dipersandingkan di pelaminan
yang berada di ruang haluan, posisi atau arah hadap pelaminan tempat
kedua mempelai bersanding biasanya ke utara atau hulu.
Sumber tulisan: http://www.mediaindonesia.com/ ( Media Indonesia, Minggu, 23 Oktober 2007)
Dicopy dari website : wartamarga
Yang Keenam :http://meirzashany83.multiply.com/journal/item/13/
Menurut informasi dari penduduk di wilayah itu dan dikuatkan oleh
buku-buku terbitan lokal (Nawawi, penerbit Mutiara Baturaja?) dan
catatan-catatan pribadi, Komering berasal dari kata India yang berarti
Pinang.
Sebelum abad ke IX daerah tersebut sedang ramai-ramainya
mengadakan perdagangan pinang dengan India. Untuk mengumpulkan pinang di
daerah itu oleh pembeli ditunjuklah seorang saudagar yang bertindak
sebagai perwakilan perdagangan. Kebiasaan setempat menamai seseorang
sesuai dengan tugas misalnya : saudagar lada, toke karet dan lain-lain.
Kepada wakil pedagang dari India ini rakyat menamainya sesuai dengan bahasa asal yang bersangkutan, yaitu Komering Sing, berarti “Juragan Pinang”.
Makam Komering Sing masih ada di dekat pertemuan sungai Selabung dan
Waisaka di hulu kota Muara Dua. Dari tempat makam tersebut dinamailah
sungai yang mengalir hingga ke Muara, dengan nama “Sungai Komering”.
Mulai saat itu semua penghuni di sekitar sungai tersebut dinamai Orang
Komering, dan daerahnya dinamai Daerah Komering.
Wilayah Suku Komering
Kabupaten Ogan Komering Ulu terletak di sebelah selatan barat daya
Propinsi Sumatera Selatan meliputi daerah seluas 13.200 km atau
1.320.000 ha. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Ogan
Komering Ilir, di sebelah selatan dan barat berbatasan dengan daerah
propinsi Lampung, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Muara
Enim. Jumlah penduduk daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu sekitar tahun
1979 lebih kurang 640.000 jiwa, “dianggap” terdiri dari 6 suku yaitu :
1. Komering
2. Ogan
3. Daya
4. Ranau
5. Semendo 6. Kisam
Dari ke-enam suku tersebut, suku Komering adalah yang terbesar
penduduknya yaitu lebih kurang 270.000 jiwa. Kemudian berturut-turut
suku Ogan dengan 90.000 jiwa, Daya 80.000 jiwa, dan selebihnya adalah
penduduk pendatang baru dari luar Ogan Komering Ulu.
Ditinjau dari segi antropologi budaya (Cultural Historisch)
terutama melalui identifikasi bahasa, masyarakat Ogan Komering Ulu
dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu :
Kelompok pendukung budaya dan bahasa Seminung (Proto Melayu) terdiri dari suku-suku Komering, Ranau dan Daya.
Kelompok pendukung dari budaya Dempo atau Melayu Muda (Deutro Melayu), yaitu suku-suku Ogan, Semendo dan Kisam
Asal Usul Suku Komering
Yang menarik perhatian dari suku bangsa Komering ini dikarenakan
ia berada di tengah-tengah bangsa lainnya (Proto Melayu - Melayu Muda)
namun tetap mampu mempertahankan identitasnya terutama dalam bahasa
sebagai alat komunikasi antar mereka.
Bahasa Komering oleh sementara pengamat dikatakan
banyak kesamaannya dengan bahasa Batak, juga logatnya. Ada ceritera
rakyat yang mengatakan bahwa Batak dan Komering berasal dari 2 orang
bersaudara. Antara kedua suku bangsa ini sering terdapat “senda gurau”
untuk menyatakan masing-masing nenek moyang merekalah yang tertua.
Suku bangsa Komering dan suku bangsa Batak adalah berasal dari
satu rumpun, bersama-sama termasuk Proto Melayu atau Melayu Kuno yang
datang dari pegunungan perbatasan Burma dan Siam.
Suku bangsa Proto Melayu ini membawa budaya asal mereka dan
berbaur dengan masyarakat asli di sekitar Seminung yang dari
perpaduannya menimbulkan ras baru dan melahirkan suku bangsa Komering,
Ranau, Daya dan Lampung pesisir (peminggir).
Kata kunci: sejarah dunia
Sebelumnya: arti penting sejarah amerika abad 19
Selanjutnya : sejarah sungai amazon
yang ketujuh dari : http://campangtiga.blogspot.com/2010/02/asal-usul-suku-komering_02.html
Yang kedelapan dari : http://forum.detik.com/showthread.php?t=24045&page=18
Pembicaraan:Suku Komering
Suku komering (jolma kumoring) adalah sebuah suku tersendiri yang
hidup di tepian sungai komering sumatra selatan, dari segi bahasa logat
orang komering (jolma kumoring)mirip logat lampung sehingga sering
dikira orang lampung, sumber buku juga banyak menyebutkan orang
komering adalah bagian dari orang lampung pesisir, namun sebenarnya
justru suku lampung pesisir adalah perantauan dari daerah sumatra
selatan yg berimigrasi ke daerah pinggiran , dan banyak cerita daerah
yg menyebutkan justru suku komering jauh lebih tua kebudayaannya dari
orang lampung,bahkan istilah suku lampung sendiri baru resmi dengan di
bentuknya provinsi lampung . kerancuan sejarah ini dikarenakan
penjajahan belanda yang lebih dahulu menduduki lampung dan menjadikan
lampung pusat kegiatan penjajahan nya, selain itu didukung suku lampung
telah menjadi provinsi tersendiri dan dengan sendirinya kebudayaan
lampung yang lebih dikembangkan, berbeda dengan suku komering yang
terpecah pecah dalam beberapa kabupaten sumatra selatan sehingga sulit
mengembangkan dan mengenalkan kebudayaannya kumoring: kalau anda dari
jawa akan pergi ke kota palembang adalah akses yang sanagat mudah kalau
anda mau lewat jalur ini khusus bis mini ke bawah, anda tetap berada
di jalur komering dengan pada sisi kanan kirinya terdapat(tiuh) desa
yang beraneka namanya mulai dari kurungan nyawa sampai Pandan agung
(MENPARI)pangkalan talang,Way handak,Way Kojai,Paina-paina kota negara
Mendayun (MENPARI) terus sampai tanjung rajo nah bila anda lewat di
jalur ini anda akan melihat lambayan pohon2 duku yang terkenal itu.
anda dapat membuktikan bahwa duku yang ada di kota palembang itu adalah
dari komeering dan tidak akan sama rasanya dengan duku yang tumbuh di
daerah perbukitan seperti lampung. SukuKomering sebenarnya suku komering ( Jorma/Jolma Kumoring) Sangat bersahabat dan familiar
ini terbukti jika anda ada masalah di jalur komering anda langsung saja
minta tlg cukup anda bilang "Kiay Tulung pai" Pasti anda akan dapat
bantuan.
yang kesembilan dari :http://geologi.iagi.or.id/2008/08/13/di-mana-pusat-sriwijaya-argumen-geomorfologi/
Agung Arlan permalink (masih ada hubungan dengan komering)
The Rise of Sriwijaya Empire
( The Legend of Jaya Naga )
By : Agung Arlan
Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan
yang di kenal dengan nama suku Sakala Bhra ( purba ) yang berarti
Titisan Dewa , suku ini mendiami daerah pegunungan dan lembah bagian
utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan Sumatera Selatan
dengan Lampung .
Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang
mendiami kawasan sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian
utara sampai ke Lampung kemudian sebagian lagi turun ke daerah bawah
dengan mengikuti aliran sungai di daerah huluan sumatera selatan yang
kemudian di kenal dengan suku SAMANDA_DI_ WAY yang berarti orang yang
mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ), suku ini yang
kelak kemudian asal mula suku Daya, Komering, Ranau,. ( Van Royen
-1927 )
Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai di tinjau dari berbagai
segi memikul beban sebagai ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka
pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno atau Proto Malayu yang merupakan
cikal bakal bahasa komering, didaerah uluan sumatera selatan.
Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat dan sakti ,
yang bernama JAYA NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri
Gelar DA-PUNTA-HYANG yang berarti Maha Raja yang Keramat , sekarang
pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita kenal gelar
Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang
mempunyai kesaktian tinggi..
Kerajaan ini kemudian di kenal dengan negeri kedatuan SRIWIJAYA
disebut juga dalam kronik ( tulisan ) di negeri china yaitu kerajaan Shi
Li Fo Shih
Kerajaan ini setiap tahun nya mengirim utusan ke negeri china
tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang pada saat itu di negeri
China sedang berkuasa Dinasti Tang ( 618–907 ).
Disebut pada dalm satu tulisan di negeri China bahwa ada kerajaan
dari laut china selatan yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok,
kerajaan itu bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di transeleterasikan menjadi
Sriwijaya.
Pada tahun 671 Masehi seorang pendeta China yang bernama It-Tsing
mengunjungi kerajaan ini dalam perjalanannya menuju India untuk
memperdalam ajaran Budha.
It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kedatuan Sriwijaya untuk
memperdalam bahasa Sansekerta , dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga , It-Tsing Berangkat menuju tanah Melayu ( Jambi ) dan menetap
selama 2 bulan sebelum melanjutkan perjalanan melalui Kedah terus
keutara menuju India.
Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat di sayangi dan di sanjung oleh
rakyatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan
pemimpin yang arief , bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Jaya Naga
juga seorang penganut Budha yang taat. Dengan Kesaktiannya ia dapat
mengetahui dan membaca gerak gerik alam, langit, matahari,bulan, bintang
, hawa, hujan, angin, batu, tanah dan hewan, sehingga penduduk
kedatuan ini menganggap Jaya Naga merupakan sosok titisan Dewa diatas
Brahmana yang merupakan perantara manusia dengan sang Ghaib yang
diturunkan ke bhumi untuk menjaga dan melindungi pulau surga (Swarna
Dwipa). Setiap kata yang diucapkannya merupakan petunjuk, setiap petuah
dan nasehat menjadi adat dan istiadat, kebaikannya merupakan anugerah
dan kebahagian bagi penduduk dan kemarahan beliau merupakan
malapetaka.
Setiap daerah taklukkannya Jaya Naga selalu menunjuk pemimpin
setempat yang di ambil dari Jurai Tua ( sesepuh masyarakat ) untuk
menjadi Datu ( Ratu – pemimpin ) di daerahnya sendiri tetapi tetap
terikat sebagai bagian dari daerah kedatuan Sriwijaya.
Jaya Naga juga mampu menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di
daerah pedalaman atau uluan sumatera selatan yang awalnya semua
penduduk berasal dari tiga rumpun suku yang mendiami tiga gunung yang
ada yaitu Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit Kaba, System
pemerintahan inilah yang kelak menjadi asal mula system pemerintahan
Marga yang ada di daerah uluan sumatera selatan.
Kedatuan Sriwijaya terkenal merupakan kerajaan yang makmur dengan
hasil alamnya berupa kayu kamper, kayu gaharu, Pinang, cengkeh, pala,
kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya
raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya merupakan pusat
kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan
perlintasan perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam
pertapaannya dari India ke China maupun sebaliknya, dan dalam
perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi agama Budha di
kawasan Asia tenggara terutama daerah semenanjung Selat Malaka dan
Selat Sunda terbukti dari catatan It-Tsing, kerajaan Sriwijaya
mempunyai 1.000 pendeta Budha, pendeta Budha yang cukup terkenal dari
Kedatuan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.
Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi
merupakan saudagar yang melakukan perdagangan dengan India , Melayu dan
China . Pedagang dari Tiongkok dagang ke Sriwijaya dengan membawa
keramik ,porselein dan sutra untuk di tukarkan dengan emas, permata dan
komoditas lain dari negeri ini yang merupakan tempat dimana komoditas
penting pada jaman itu sampai dengan sekarang merupakan kekayaan alam
pulau ini sehingga orang pada masa itu menyebut pulau ini dengan Pulau
Surga ( Swarna Dwipa ) .
Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai ( kanal-kanal) kecil yang
memasuki perkotaan sehingga perahu merupakan sarana transportasi penting
masyarakat kota tersebut sehingga kerajaan ini terkenal dengan armada
kapal – kapal yang kuat dan rapi yang kemudian dapat menguasai seluruh
kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda .
Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke
perairan sungai-sungai yang ada di uluan sumatera selatan banyak di
kuasai perompak-perompak.
Kondisi seperti ini membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur
pulau sumatera berlabuh di pelabuhan Melayu ( Jambi ) kemudian
melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan Palembang.
Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang
diutarakan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan
terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang Jayanaga berperahu
kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung. Dalam
pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan
kekuatan dari sang Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan
tempat-tempat yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di
Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga ( ibukota
kerajaan ) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komering bermuara
kurang strategis di pandang dari sudut perdagangan.
Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
melakukan konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu
rumpun Sakala Bhra (Purba). Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut yang terletak di
sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan kemudian semua
penduduk di ikat oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
untuk menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. ( Prasasti Hujung Langit –
Lampung Barat )
Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan
kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu
rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya terkenal akan keberanian, dan
kekuatannya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan expansi pertamanya yaitu
dia harus menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang (
Kedukan Bukit ) di daerah palembang sebagai titik temu. Palembang pada
jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di mana bukit Sigiuntang
merupakan tanjung palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini adalah
dataran tinggi yang merupakan mercu suar atau tempat pintu masuk ke
tanjung Palembang yang merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang
ada di sumatera.selatan.
Pada peta pantai timur Sumatra purba di tepi pantai timur teluk purba
terdapat 2 tanjung yang menjorok jauh kearah laut , kearah utara
dengan jambi di ujungnya, dan yang timur menjorok kearah tenggara
dengan Palembang berada diujungnya. Tanjung Palembang terbentuk oleh
Bukit Siguntang sedang di selatan bukit ini terdapat teluk yang
menjorok dalam lagi di mana sungai komering bermuara.
Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu )
pasukannya dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan
belantara dan sebagian lagi membawa perahu mengikuti perairan. Selama
dalam perjalanan terjadilah pertempuran – pertempuran kecil yang tidak
terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah daerah yang di
lintasi oleh laskar Kerajaan Sriwijaya.
Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan
sampailah rombongan pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
di Muka Uphang. Perjalanan pasukan Sriwijaya mendapat kemenangan besar
sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat bangunan atau
rumah ( barak ) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2
laksa laskar Sriwijaya , untuk mengabadikan kemenangan tersebut di
pahatlah Prasati Kedukan Bukit .
Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang ( Kedukan Bukit )
dan kemudian menguasai pelabuhan palembang , maka “ pada hari kedua
bulan terang bulan Caitra tahun 606 Saka ( 23 Maret 684 M ) Dapunta
Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan rakyat setempat. Oleh
karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua hasil
yang di dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan
semua yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikian
pula halnya dengan tebat dan telaga agar dapat di pelihara sehingga
berguna bagi sekalian makhluk. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para
penghianat yang tidak setia, termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri
beliau. Karena beliau tidak akan menetap lama beliau menambah pesannya
: “ Walaupun dia tidak berada di tempat dimanapun dia berada janganlah
hendaknya terjadi Curang, Curi, Bunuh dan Zinah di situ. Akhirnya di
harapkan doa agar beliau mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi “
( Parasasti Talang Tuo )
Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira
Lokal yaitu Kandra Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah
satu Panglima Perang Sriwijaya terbunuh yang bernama Tan Drun Luah,
walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah perkasa dapat di di bunuh oleh
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat.
Untuk mengingat hal ini maka di buatlah suatu prasasti persumpahan
untuk mengikat setiap para pejabat lokal yang ada di daerah taklukan
agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kalau tidak
maka akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga Batu ).
Batu persumpahan yang dimaksud antara lain berbunyi :
- “……. kamu sekalian, seperti kamu semuanya, anak raja, bupati,
panglima Besar,…….hakim pengadilan……kamu sekalian akan dimakan sumpah
yang mengutuk kamu. Apabila kamu sekalian tidak setia kepada kami kamu
akan dimakan sumpah. ( 1-6 )”.
- “ Apabila kamu berhubungan dengan pendurhaka yang menghianati kami
…………orang yang tidak tunduk kepada kami serta kedatuan kami kamu akan
di bunuh oleh sumpah kutuk ini. ( 7-8 ) “.
- “ Apabila kamu menabur emas permata untuk meruntuhkan kedatuan kami
atau menjalankan tipu muslihat………..dan apabila kamu tidak tunduk
kepada negara kedatuan kami maka terkutuklah kamu akan dimakan dibunuh
sumpah kutuk. ( 11-12 ) “.
- “ Demikian pula apabila kamu melawan kepada kami di daerah-daerah
perbatasan negara kedatuan kami kamu akan dimakan, di bunuh. (13-14).
- “ ……lagi pula kami tetapkan pengangkatan menjadi datu dan mereka
yang melindungi sekalian daerah negara kedatuan kami putra mahkota,
putra raja kedua, dan pangeran lain yang didudukan dengan pengangkatan
menjadi datu, kamu akan dihukum apabila kamu tidak tunduk kepada kami (
19-20 )”.
Secara Geografis palembang adalah tempat yang strategis untuk
menguasai lalu lintas pelayaran di Laut China Selatan. Namun kebanyakan
pada waktu itu kapal – kapal berlayar singgah di kerajaan Melayu (
Jambi ) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai timur
sumatera kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke
utara tanpa singgah lagi di pelabuhan palembang.
Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk
menaklukan kerajaan Melayu ( Jambi ) untuk di jadikan wilayah kekuasaan
kedatuan Sriwijaya.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu,
yang dari semula tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.
Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga,
Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas
Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Di abad
ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera
dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah
bumi Jawa tentu saja Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa
pemberontakan Kandra Kayet terus saja terbayang oleh sri baginda dan
ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya
Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di
lakukan oleh seorang perkasa sekalipun dapat di tumpas . kemudian
penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan Sumpah maka di pahatlah
prasasti Karang Brahi.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan
berarti harus melalui selat Bangka . Oleh karena itu kerajaan Bangka
harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah menaklukan kerajaan
Bangka, Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya ke
Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda, penguasa lokal dan
rakyatnya harus di beri peringatan dan di ikat dengan persumpahan untuk
selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga. Demikianlah pada
akhirnya : “ Pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka atau
tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan
Batu Prasasti Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur
dan segera menuju Bumi Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada daerah yang
berdiri sendiri di pantai timur Sumatera Bagian Selatan, untuk
kepentingan keamanan penguasaan laut selatan, kerajaan itu harus pula di
tundukan. Kerajaan itu sebenarnya berasal dari satu rumpun wangsa
Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti ( Way Seputih ) di
lampung Selatan. Sama dengan peristiwa- peristiwa lainnya, setiap beliau
meninggalkan daerah – daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan
sumpah setia terlebih dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti
Palas Pasemah.
Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang
Sri Jaya Naga mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga
merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu Dapunta Sailendra untuk memimpin
pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari data yang ada tampaknya
mereka menuju Jawa tengah bagian utara.
Pada saat inilah di nyatakan oleh berita di neger China ( Dinasti
Tang ) bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian masing-
masing mempunyai pemerintahan sendiri. ( Kronik Dinasti Tang ).
Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah
harus melaksanakan perintah Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga
untuk membangun candi di Ligor ( Muangthai ) candi tersebut baru selesai
tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari Wangsa Sailendra.
Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk
melanjutkan memerintah Kedatuan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas
perdagangan di Selat Malaka dan Laut China Selatan .
Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian
selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat
Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini
pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara
dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada
masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah
dominasi Sriwijaya.
Masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga
Silap atau hilang secara misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat
Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya Naga bersedih sehingga mengasingkan diri
ke Gunung Seminung untuk bertapa sampai akhir hayatnya.( Legenda
Minanga Sigonong-Gonong )
Di angkat dari Buku :
Periodisasi Kerajaan Sriwijaya
Karangan : H.M. Arlan Ismail, SH ( 2003 )
Reply
2008 December 4
Agung Arlan permalink
Minanga Ibukota Kerajaan Sriwijaya……..
Nama Minanga ( Komering Ulu Sumatera Selatan ) sebagai nama tempat
sudah ada semenjak sebelum Van Rokel membaca prasasti kedukan bukit
tahun 1924. Oleh karena itu nama Minanga di Komering Ulu itu bukanlah
mencontoh kebesaran nama dalam prasasti kedukan bukit.
Ini terlihat dalam suatu piagam perjanjian tahun 1629 dengan mamakai
tulisan Arab-Melayu oleh kesultanan Palembang yang pada waktu itu di
berkuasa Sedaing Kenayan mengenai tapal batas Marga Minanga. Piagam
tersebut masih tersimpan sebagai dokumen Marga Semendawai Suku III.
Minanga yang kita identifikasikan sebagai ibukota Sriwijaya sekarang
adalah merupakan nama dua buah desa yaitu desa Minanga Tengah dan desa
Minanga Besar .
Desa Minanga sekarang terletak di daerah rawa-rawa dataran rendah.
Daerah yang agak tinggi permukaannya mengelilingi desa-desa tersebut
yaitu di sebelah hulu sungai disekitar daerah Betung ( dahulu bernama
Kedaton ) di sebelah barat ada dataran tinggi yang membentang sampai ke
batas Kedaton dan sungai Ogan. Jadi bahwa kawasan Minanga berada di
antara dua daerah yang bernama Kedaton yang berada di pedalaman Sumatra
Selatan di pinggir Sungai Komring. Ada yang menarik tentang nama-nama
tempat sebagai petanda monumen sejarah yang terdapat di Desa Minanga
Komring Ulu dengan menamai kampungnya dengan nama-nama yang memberi
kesan seolah-olah tersebut ada bekas pusat suatu pemerintahan antara
lain :
1. Kampung Ratu — Menggambarkan komplek Perumahan para Raja-raja
2. Kampung Kadalom — menggambarkan adanya kompleks perkampungan para abdi dalam.
3. Kampung Balak — berasal dari kata Bala atau Laskar kedaton
4. Kampung Binatur — berasal dari kata Batur yang berarti pelayan keraton
5. Pasar Malaka — yang sekarang merupakan ladang penduduk yang di
yakini oleh penduduk setempat dahulunya merupakan tempat orang
memperdagangkan barang dagangan dari Malaka.
Nama nama tersebut sudah ada sama tuanya dengn nama Minanga komring ulu yang sudah ada sejak sebelum tahun 1629 Masehi
Kemudian di kawasan Minanga ini banyak sekali kita jumpai Makam Kuno
( makam keramat ) lebih kurang terdapat 15 makam kuno sepanjang uluan
sungai komring yang di kenal dan di percayai oleh penduduk setempat
merupakan makam Raja-Raja maupun panglima perang jaman dulu yang menjadi
keramat bagi desa desa sekitar.
Antara lain :
- Pu-Hyang ( Puyang ) Ratu Kadi yang berarti Pangeran Mahkota
- Pu-Hyang ( Puyang ) Naga Brinsang yang berarti Raja Naga Ajaib.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Alam Basa Berarti Raja Alam berasal dari Dewa.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Randah ( Randuh ) yang berarti Raja yang dapat berpndah- pindah tempat.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Kai Ranggah yang berarti raja banyak Cahang.
- Pu-Hyang ( Puyang ) Marabahu ( diucapkan Marbau ) yang berarti Raja yang berkali-kali mati dan hidup kembali.
- Tan Junjungan ( Puyang Tan Junjungan ) yang berarti panglima yang penuh sanjungan.
- Tan Adi ( Puyang Tan Adi ) yang berarti Panglima Utama
- Tan Aji ( Puyang Tan Aji ) yang berarti Panglima Raja
- Tan Mandiga ( Puyang Tan Mandiga ) yang berarti Panglima yang ampuh.
- Tan Salela ( Puyang Tan Salela ) yang berarti Panglima yang menarik hati
- Tan Robkum ( Puyang Tan Robkum ) yang berarti Panglima yang tahan rendam dalam air.
- Tan Hyang Agung ( Puyang Tihang Agung ) yang berarti Panglima dewa Agung
- Tan Minak Batara ( Puyang Minak Batara ) yang berarti panglima turunan Raja
- Tan Mahadum ( Puyang Mahadum ) yang berarti panglima penyelamat.
Jarak Minanga dengan Pantai timur sekarang jika di tarik lurus
horizontal lebih dari 100 Km. Karena Minanga berada di pinggir sungai
yang sekarang di kenal dengan sungai Komring maka penduduknya di sebut
orang Komring. W.V. Van Royen dalam bukunya “ De Palembang Sche Marga (
1927 ) “ tidak menyebut orang komring tetapi “ Jelma Daya “ . Nama
sungai Komring sendiri diambil dari nama seorang yang berasal dari India
yang bernama Komering Singh ,makam nya terdapat di sebelah hulu desa
Muara Dua , sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya
mulai dari Muara Selabung yang mengalir ke hilir sampai muara Plaju di
sebut sungai Komring .
Menurut sejarah Kabupaten Ogan Komering Ulu ( 1979 ) Jelma Daya
kelompok pertama yang turun dari gunung Seminung melalui Danau Ranau
kemudian seterusnya menelusuri sungai Komring sampai di Gunung Batu
adalah kelompok Samandaway. Samandaway berasal dari kata Samanda Di Way
yang berarti mengikuti aliran sungai.
Pada tahun 1974 telah ditemukan sebuah arca Budha yang terbuat dari
Perunggu ukuran tinggi ±35 cm, tebal 11 cm di temukan 15 km dari desa
Minanga yang di temukan tidak sengaja oleh petani setempat yang kemudian
menjadi barang koleksi pribadi mantan bupati OKU pada saat itu.
Minanga hanyalah monumen sejarah dalam bentuk nama tempat, tapi
kawasan Minanga purba adalah begitu luas yaitu paling sedikit sebesar
Marga Semendawai Suku III dan di sebelah barat berbatasan dengan daerah
Kedaton ( Ogan Ulu Sumatera Selatan ).
Karena langka nya peninggalan Sriwijaya dalam bentuk benda
kepurbakalaan di manapun termasuk di daerah Minanga ( Komring Ulu
sumatera selatan ) maka alternative lain yang harus di cari
identitasnya ke dalam nilai-nilai Budaya dimana salah satu aspek budaya
yang penting dan masih menonjol adalah Bahasa . :
“ Bahasa adalah alat utama Kebudayaan. Tanpa Bahasa kebudayaan tidak
mungkin ada. Kebudayaan tercermin dalam Bahasanya. ( S Gazalba 1966 :
102 ) “
Seperti di utarakan di muka bahwa rumpun Seminung mempunyai bahasa
dan tulisan sendiri. Orang Rumpun Seminung tergolong suku Malayu Kuno (
Proto Malayan Tribes ), bahasanya banyak terdiri dari bahasa Malayu
Kuno , bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta.
Bahasa Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, dan prasasti
lainnya dalam periode Shi-Li-Fo-Shih ( 670 s.d 742 Masehi ) adalah
bahasa Malayu Kuno dan kausa katanya banyak yang tertinggal dalam bahasa
Rumpun Seminung ( Komering, Daya,Ranau, Lampung ).
Sebagai perbandingan kita mengambil contoh adalah prasasti Telaga
Batu : menurut bacaan dan terjemahan Prof.Dr.J.G. de Casparis dalam
bukunya “ Selted inscription from the 7 th to the 9 th century A.D (
1956 )” . Prasasti itu terdiri dari 28 baris dengan jumlah ±709
kata-kata yang sudah terbaca, dari kata-kata tersebut terbentuk ±311
bentukan kata yang tidak kurang dari 50 kata yang terbukti di pakai
dalam bahasa Komering ( Rumpun Seminung ). Antara lain sebagai berikut :
Bahasa Sriwijaya Bahasa Komering Indonesia
( Prasasti Melayu Kuno )
- Awai - Awai - Memanggil
- Dangan - Jongan - Cara
- Hulun - Hulun - Orang asing
- Inan - Inan - Biarkan
- Katahuman - Katahuman - Tertangkap tangan
- Labhamamu - La(m)bahanmu - Tempat tinggalmu
- Mulam - Mulang - Kembali
- Mancaru - Macuaru - Mangacau/menghianat
- Muha - Muha - Angap ringan / boros
- Muah - Muah - Lagi / Masih ada
- Marpadah/Padah - Mapadah/Padah -Tanggulangi / Andalan
- Pira - Pira - Berapa
- Puhawam - Puhawang - Pawang / Peramal
- Ri - RI - Bersama
- Sarambat - Sarambat - Setangkai
- Talu - Talu - Kalah / tunduk
- Tapik/Manapik - Tapik/Manapik - Menghindar/elak/serang
- Tuhan - Tuhan - Milik
Tidak teridentifikasinya Minanga Komring Ulu sebagai ibukota Sriwijaya selama ini di karenakan :
1. Para ahli sejarah tidak mengetahui bahwa ada Minanga di daerah
Komering Ulu Sumatera Selatan yang berada di Muara Sungai di tepi Pantai
pada waktu itu, sehingga orang mencari Minanga di luar Sumatra Selatan
di dasarkan kepada semata-mata kesamaan bunyi dan penggantian huruf.
2. Penelitian Geomorfologi semata-mata di tujukan hanyalah penelitian
kedudukan Jambi dan Palembang apakah berada di tepi pantai atau tidak
pada jaman Sriwijaya
3. Minanga dalam Prasasti kedukan bukit di satukan dengan kata Tamvan
sebagai Toponim (nama tempat ), Minanga yang tersebut dalam prasasti
kedukan bukit di tafsirkan sebagai daerah yang ditundukkan oleh
sriwijaya hanya semata-mata untuk memperkuat Palembang sebagai ibukota
Kerajaan..
4. Para ahli sejarah hanya mau mengakui sesuatu atau mengarahkan
penelitian pada suatu tempat kalau sudah ada bukti arkeologis di
ketemukan lebih dahulu, sedangkan sumber sejarah bukan terletak kepada
benda arkeologis semata, tetapi juga dalam bentuk ciri-ciri budaya,
bahasa dan lain-lain peninggalan kebudayaan masa lampau yang dapat di
jadikan petunjuk awal.
5. Karena tidak di ketahui bahwa Minanga ada di Komering Ulu Sumatera
Selatan maka ia tersisihkan dari obyek penelitian sehingga tidak di
temukan benda-benda yang bersifat arkeologis. Benda-benda arkeologis itu
hanya di tunggu atau di harapkan untuk di ketemukan secara kebetulan
seperti yang kita alami sekarang.
Lyzhera….
untuk intro saya mengatakan tahun 600 masehi bukanlah awal dari
penyebaran dari suku Sakala Bhra(Purba) tetapi untuk menekan adanya
suatu kesatuan Rumpun antara penduduk Komering Ulu dengan masyarakat
Lampung paminggir….mengapa saya katakan Purba karna yg dimaksud disini
adalah bukan suku Sakala Bhra yg ada sekarang….Sakala Bhra yg sekarang
terbentuk sejak terjadinya Perang Abung sekitar tahun 1400 masehi….
Mengapa Komring kurang terkenal dibanding dgn Lampung dikarekan
memang Komering bukanlah merupakan SUKU…..Nama Komring sendiri diambil
dari nama seorang saudagar buah Pinang yang berasal dari India yang
bernama Komring Singh , makam ( kuburan ) nya terdapat di sebelah hulu
desa Muara Dua, sungai yang mengalir mulai dari makam tersebut tepatnya
mulai dari pertemuan sungai Selabung dengan Wai Saka yang mengalir ke
hilir sampai muara Plaju di sebut sungai Komring dan penduduk yang
tinggal disepanjang aliran sungai ini disebut orang Komring ,tetapi
tidak semua penduduk yang mendiami sungai komring di sebut orang
komring, aliran sungai Komring sampai di Gunung Batu, penduduknya
terbagi dalam 2 ( dua ) Kewedanaan Muara Dua dan Kewedanaan Martapura ,
sebagian penduduk kewedanaan Muara Dua di sebut Jelma Daya bukan Orang
Komring walaupun mereka tinggal di pinggir sungai Komring sementara
itu penduduk yang termasuk kewedanaan Martapura di sebut orang komring.
Yang kesepuluh : bungzhu1205.multiply.com/.../202/SISI_LAIN_SUKU_KOMERING
SISI LAIN SUKU KOMERING Dec 2, '08 1:33 PMuntuk semuanya
Masyarakat Komering Pun Beradat Istiadat
MELEWATI wilayah Komering, pengguna jalan memang harus hati-hati,
terutama pada pekan-pekan setelah hari raya Lebaran. Bukan karena
ancaman pemerasan atau perampokan, tetapi karena pekan-pekan tersebut
banyak dilaksanakan acara pesta pernikahan.
SALAH satu rangkaian ritualnya, yaitu mengarak calon pengantin
laki-laki ke rumah pengantin perempuan, selalu mengakibatkan kemacetan.
Bayangkan jika sepanjang ruas jalan Kayu Agung, ibu kota Kabupaten
Ogan Komering Ilir, dan Martapura, ibu kota Kabupaten Ogan Komering
Ulu (OKU) Timur, ada lima keluarga saja yang mengadakan acara
perkawinan.
Barisan keluarga mempelai laki-laki dengan membawa berbagai macam
hantaran berjalan kaki menuju rumah calon besannya. Tak ketinggalan
para pemusik kelintang yang memainkan musik di sepanjang perjalanan,
menjadikan prosesi arak-arakan tersebut sebagai tontonan yang menarik.
Upacara perkawinan tersebut adalah bagian dari adat yang masih
dipegang oleh masyarakat Komering. "Dalam kesehariannya, masyarakat
Komering masih memegang baik adat maupun ajaran agama Islam," ujar
Ruslan Muchdar, sesepuh masyarakat Komering.
Perkembangan zaman, diakui Ruslan, telah mengikis sejumlah adat
kebiasaan masyarakat Komering. Namun, sejumlah kebiasaan belum
sepenuhnya hilang, termasuk hal yang sangat sederhana, yaitu kebiasaan
memelihara rambut panjang.
Rosdiana, warga Desa Sungai Tuha, Kecamatan Martapura, menuturkan,
ia sempat tidak berani pulang ke rumah selama beberapa hari setelah
potong rambut. "Ayah marah sekali ketika melihat rambut saya yang
sebelumnya sampai ke pinggang, dipotong menjadi sebahu," tuturnya.
Masyarakat Komering yang patrilineal sangat membatasi gerak
kerabat perempuan mereka. Di dalam keluarga, laki-laki bertugas menjaga
martabat saudara perempuan dan keluarganya. Posisi laki-laki tersebut
banyak disimbolkan dalam acara-acara adat.
Dalam rangkaian upacara perkawinan Komering dikenal ritual kandang
ralang, yaitu pasangan pengantin diarak dalam kain putih yang
panjangnya sampai 60 meter yang bagian tepinya dipegangi oleh sejumlah
pemuda.
"Ritual tersebut menyimbolkan bahwa pengantin laki-laki akan
menjamin keamanan dan kehormatan keluarga mertuanya," papar Ruslan.
Kehormatan dan harga diri merupakan hal penting bagi seorang
Komering. Akan tetapi, mereka sangat pantang mengakui kesalahan di
depan orang banyak.
ASAL-usul masyarakat Komering memang tidak begitu jelas.
Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia yang diterbitkan LP3ES
menyebutkan, seperti kebanyakan kelompok masyarakat di Sumatera
Selatan, sistem kemasyarakatan Komering dipengaruhi adat Simbur Cahaya.
Simbur Cahaya adalah kumpulan hukum adat setempat yang diterapkan
oleh Kesultanan Palembang. Hukum adat itu selain mengatur penguasaan
kesultanan terhadap berbagai sumber daya, juga mengatur beragam aspek
sosial, mulai dari perkara pegangan tangan antara laki-laki dan
perempuan, kegiatan ekonomi, masalah keamanan lingkungan, hingga
politik dalam organisasi pemerintahan marga.
Undang-undang (UU) tersebut juga mengatur wilayah kekuasaan sultan
di tingkat marga. Pemimpin marga disebut pasirah. Bawahannya adalah
para kepala dusun yang disebut kerio. Selain struktur pemerintahan
marga, ada tingkatan-tingkatan keluarga raja adat yang masih keturunan
Kesultanan Palembang.
Pengajar Hukum Adat pada Program Pascasarjana Universitas
Sriwijaya, Albar S Subari, menuturkan, Simbur Cahaya berlaku sebagai UU
dengan menerapkan sanksi yang tegas. "Saat hukum adat masih dipegang,
laki-laki yang mengganggu perempuan bisa dikenai denda atau sanksi,"
paparnya.
Sekretaris Penasihat Dewan Pembina Adat Istiadat Sumsel ini
menilai, hukum adat berperan besar dalam menjaga ketertiban masyarakat
Komering. "Tindak kriminalitas memang sudah ada sejak dulu, tetapi
kontrol sosial melalui penerapan hukum adat pada masa lalu cukup kuat
untuk mengurangi efeknya," ungkap Albar.
Kuatnya pengaruh hukum adat, lanjut Albar, tidak lepas dari
peranan pemimpin marga. Para pasirah adalah tokoh yang benar-benar
disegani karena kekuasaan mereka cukup besar. Mereka memegang fungsi
yudikatif, eksekutif, dan kepolisian.
"Dulu, kejahatan-kejahatan kecil biasanya diselesaikan di tingkat
marga. Para pihak-pihak yang terkait didamaikan, lalu diadakan
sedekah," tutur Albar.
Peran hukum adat sebagai pranata sosial masyarakat mulai pupus
menyusul dihapuskannya sistem marga oleh Pemerintah RI pada tahun 1983.
"Sistem pemerintahan desa tidak punya ikatan yang kuat dengan
masyarakat. Sejak itu berbagai masalah sosial pun makin sulit
dikontrol," ujarnya.
Meskipun sistem marga sudah tidak berlaku, secara fisik sejumlah
peninggalannya masih ada. Di tengah Kota Martapura, kecamatan yang
menjadi ibu kota Kabupaten OKU Timur, tegak berdiri bangunan bergaya
kolonial yang masih terawat baik. Pada masa Kesultanan Palembang maupun
pemerintahan Hindia Belanda, gedung tersebut didiami oleh asisten
demang, kepala pemerintahan yang membawahi sejumlah marga.
Gedung itu sekaligus berfungsi sebagai tempat berkumpul khalayak
ramai setiap kali diadakan pesta maupun pertemuan adat. "Zaman kami
masih muda dulu, karena pergaulan antarmuda-mudi sangat dibatasi,
orang-orang tua menyelenggarakan pesta adat untuk memberi kesempatan
pada kaum muda bertemu," kisah Hadijah (60), warga Martapura.
Nenek dua cucu ini masih ingat, dengan mengenakan kain sarung dan
baju kurung, para muda-mudi duduk berhadap-hadapan, bercakap-cakap
dengan diawasi orang-orang tua dari kejauhan. "Kalau ada yang ingin
berkenalan, biasanya menulis pesan dalam secarik kertas, lalu
disampaikan oleh anak-anak kecil yang mendapat imbalan gula-gula,"
tuturnya.
Kebiasaan menitip surat untuk berkenalan itu hingga saat ini masih
lestari di pelosok-pelosok kampung yang didiami masyarakat asli
Komering. Meski saat ini pergaulan muda-mudinya sudah jauh lebih
longgar dibandingkan dulu, saat adat masih dipegang ketat.
Menimbang suasana kehidupan pada masa marga yang lebih tertib, ada
keinginan untuk kembali menghidupkan lembaga tersebut. "Dengan kembali
ke sistem pemerintahan marga, maka adat akan kembali hidup," kata
Albar.
MESKIPUN stigma sebagai masyarakat yang keras identik dengan
masyarakat Komering, mereka cukup terbuka terhadap kehadiran orang
luar. Warga pendatang dari Lampung, Jawa, dan Bali diterima dengan
tangan terbuka. Para pendatang ini bahkan banyak yang bisa sukses, baik
sebagai pedagang maupun petani.
Made, warga Belitang yang berasal dari Bali, menuturkan, ia sudah
mendengar cerita tentang masyarakat Komering yang keras. "Tetapi,
selama 20 tahun tinggal di sini, saya tidak pernah mendapat kesulitan
dengan mereka," ujarnya.
Hal serupa dikemukakan Wak Dul, penduduk di Kecamatan Buay Pemuka
Peliung, OKU Timur, asal Jawa. Sebagian besar warga desanya adalah
pendatang dari Jawa yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani.
"Menantu saya juga orang Komering. Memang dari luar mereka kelihatan
keras, tetapi tidak semua orang Komering itu keras," tuturnya
menerangkan.